Tak ada satu penulis novel cinta bernuansa Islam yang saat ini lebih terkenal dibanding Habiburrahman El Shirazy atau biasa dipanggil kang Abik. Ayat-ayat cintanya sudah diangkat ke layar lebar, sementara dwilogi pembangun jiwanya dalam "Ketika Cinta Bertasbih" laris manis di pasaran. Walaupun dua novel terakhirnya tidak pernah bisa saya selesaikan. Bukan tidak mau, atau tidak ada waktu. Tetapi saya pun bingung mengapa saya tidak bisa menyelesaikan buku "Ketika Cinta Bertasbih" yang begitu penuh penghayatan, tidak begitu jauh dengan masterpiece Ayat-ayat Cinta.
Tidak dipungkiri, seorang penulis cerita yang jenius adalah mereka bisa membuat cerita yang membawa pembacanya untuk tidak sekedar membaca. Tapi juga menghayati isi bacaan yang ditulisnya dengan bahasa yang sederhana tapi menghanyutkan. Jika misalnya tulisan itu menulis tentang cinta, maka si pembaca diajak untuk menghayati tentang cinta itu. Jika tulisan itu mengenai kemiskinan, maka si pembaca! pun terhanyut dalam relung-relung kesusahan lahir dan batin serta bisa meresapinya. Bahkan jika kisah itu bercerita tentang dendam dan kebencian, maka si pembaca pun terhanyut untuk merasakan seperti apa dendam dan kebencian yang dirasakan di dalam buku. Hanya sedikit penulis yang seperti itu. Saya pribadi merasakan hal itu dalam beberapa karya sastra semisal
Sir Arthur Conan Doyle dalam seri-seri Sherlock Holmesnya atau beberapa syair Jalaludin Rumi.
Kang Abik bisa dibilang sedikit masuk ke kategori itu. Sedikit karena spesialisasinya adalah soal-soal berbau "cinta". Dan memang penghayatan itu bisa sangatlah dalam jika kita melihat karya-karya beliau. Ditambah dengan begitu banyaknya pemuda-pemudi Islam di tengah benturan peradaban modern namun tengah mencoba mencari makna cinta dalam Islam, buku-buku kang Abik makin menemukan segmen pembacanya di Indonesia. Impian tentang mendapatkan jodoh dan pujaan hati, berbalut keindahan suasana kota Mesir yang selalu tercantum di bukunya, dan akhir yang indah. Orang bisa bilang ini hanya mimpi, tapi inilah impian semua orang. Sangat manusiawi, sangat manusiawi.
Dan justru karena karya sastra beliau sangat manusiawi itulah terkandung pula kelemahannya. Karena "cinta" yang awam adalah cinta yang penuh dengan emosi. Sedih, gembira, gelisah, kecewa, dan sebagainya. Dan saat cinta bertemu dengan emosi manusiawi itulah timbul kelemahan. Apalagi jika tidak memahami seperti apa cinta tidak diletakkan dengan baik dan benar. Maka cinta akan terbagi ke dua kutub. Di satu kutub ada mereka yang dimabuk cinta dan disisi lain ada barisan patah hati.
Makanya jika dicermati, dalam karya-karya kang Abik pun ada tokoh-tokoh patah hati. Dalam
Pudarnya Pesona Cleopatra tokoh itu adalah Raihanna, istri yang tersia-sia sampai akhir hidupnya dan sang suami yang menyesal di akhir. Dalam
Ayat-ayat Cinta, tokoh itu adalah Maria Ghirgis yang baru menemukan cintanya di nafas-nafas terakhir hidupnya. Dalam
Ketika Cinta Bertasbih 1, tokoh itu adalah Fadhil sang pemuda Aceh yang dengan tegar bernasyid pada pernikahan gadis yang sedianya akan dia lamar namun urung terjadi. Sedangkan di buku
Ketika Cinta Bertasbih 2, tokoh itu adalah Furqan Andi Hassan yang harus kehilangan gadis impiannya hanya karena ketidak tahuannya terhadap penyakit AIDS. Pembaca karya kang Abik mungkin akan lebih terbawa pada kisah tokoh utamanya yang selalu happy ending. Siapa yang tidak ingin bahagia seperti Fahri di Ayat-ayat Cinta atau Azzam di dwilogi Ketika Cinta Bertasbih. Dan wajar jika seorang penulis lebih memfokuskan alur kisah pada sang tokoh utama.
Namun pernahkah kita berpikir kalau kita berada tidak sebagai pemeran utama yang happy ending, tapi justru pada si patah hati itu ?? Tentu akan begitu menyedihkan. Bagaimanakah kiranya kesedihan Fadhil dibawa dalam
Ketika Cinta Bertasbih, dan adakah dia menemukan ganti yang lebih baik, sampai akhir buku pun tidak diceritakan. Makanya, bagi mereka yang menggilai "Ayat-ayat Cinta" dan sebangsanya, saya justru melihat kelemahan lain dari sisi ini. Pada tokoh patah hati yang jauh lebih tidak jelas nasibnya.
Baiklah, kita bisa berkata bahwa setiap orang punya takdirnya sendiri. Dan tidak sehelai daun pun jatuh ke bumi kecuali atas izin Allah, apalagi masalah jodoh. Namun kita berhadapan dengan hati manusia, yang setelah terluka belum tentu akan langsung sembuh. Butuh waktu, butuh proses dan entah apa yang akan terjadi dalam proses dan waktu itu. Sebuah hikmah pun kadang akan terasa sakit jika diingat. Jika hikmah itu adalah sebuah harapan, dan harapan itu kemudian tidak terjadi. Entah dalam bentuk perjodohan yang tidak tercapai, optimisme akan nilai ujian yang bagus namun rupanya tidak tercapai, hangusnya peluang mendapat beasiswa karena salah melihat deadline tanggal, dan lain sebagainya.
Begitupun jika cinta hanya dimaknai sebagai nuansa "merah jambu". Padahal di seberang pemenang ada si patah hati. Seperti halnya kisah romantis Marc Anthony dan Cleopatra dibangun diatas keping-kepingan hati dan keruntuhan kekuasaan Julius Caesar yang juga mencintai Cleopatra. Seperti halnya kawan yang pernah mengatakan kepada saya "Ayat-ayat cinta cuman cocok buat orang yang mau nikah, bukan buat orang yang lagi patah hati". Manusiawi, punya kelebihan dan kekurangan sekaligus.
Entahlah, saya pun masih belajar untuk semuanya di universitas kehidupan. Maka saat kita berbicara mengenai cinta, mengenai harapan, syair-syair Cinta, pandanglah dengan jernih. Dia impian idealita di satu sisi, dan kepastian untuk kehilangan di sisi lain. Namun tidak akan rugi orang yang menempatkan cintanya pada sesuatu yang Maha Tinggi, dia yang menganugerahkan cinta untuk dikenal oleh manusia.
Tempatkan cinta di tempat yang benar, di sisi Allah, SWT. Dan.......bacalah apapun yang bermanfaat
. Reader today, leader tomorrow.
Salam.
- Nobody is perfect
- I am nobody
Rizki Ramadhani
Taipei, Taiwan
15 Februari 2008