Monday, 24 December 2007

Taiwan, Etnis Cina, dan Segala Keunikan serta Permasalahannya

Tanggal 8 – 9 Desember 2007 yang lalu, saya berkesempatan mengikuti kegiatan Asian Democracy Workshop yang diselenggarakan oleh Democratic Pacific Union (DPU). DPU sendiri adalah persatuan negara-negara demokrasi yang berada di kawasan Asia Pasifik dengan jumlah 28 negara (termasuk Indonesia dan Taiwan), yang bertujuan untuk menjalin kerjasama dalam membangun demokrasi, perlindungan HAM, dan juga mengkampanyekan perdamaian global khususnya di Asia Pasifik. Saat ini ketua umum DPU dijabat oleh Annette Lu (Lu Hsiu-Lien) yang juga adalah wakil presiden Taiwan. Hadir dalam acara ini mahasiswa dari hampir seluruh Universitas di Taiwan. Tidak hanya mahasiswa lokal, tetapi juga mahasiswa internasional dari berbagai Negara seperti Vietnam, Korea Selatan, Turki, Indonesia, dan lain sebagainya.

Dalam workshop yang diselenggarakan selama 2 hari tersebut, para pembicara yang merupakan pakar politik dari beberapa kampus di Taiwan dan juga beberapa aktivis partai seperti dari Kuomintang dan Partai Progresif Demokrat (Partai berkuasa di Taiwan saat ini). Ada 3 pokok bahasan yang paling menarik dalam workshop ini adalah perbandingan politik di negara-negara Asia, kemerdekaan Taiwan, dan terakhir adalah masalah penduduk keturunan Cina (Chinese overseas) yang tersebar di berbagai dunia.

Dalam masalah perbandingan politik Asia, seorang pembicara memaparkan dengan jelas pandangannya mengenai bagaimana pemerintahan dan demokrasi diimplementasikan di tiap-tiap negara di Asia termasuk Indonesia. Tapi yang paling unik adalah bagaimana melihat hubungan luar negeri dan politik negara-negara di Asia Timur yang sangat kompleks. Kita bisa melihatnya dalam hubungan antara 3 negara terbesar di Asia timur yakni Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Unik karena bagi orang luar yang tidak mengerti sejarah Asia Timur, ketiga Negara ini terlihat mirip. Postur orang-orangnya, budayanya, sedikit banyak bahasanya, dan lain sebagainya. Padahal rupanya tidak seperti itu adanya, karena ketiganya menyimpan bara dalam sekam pada sejarahnya.

Cina dan Jepang sudah dari zaman dulu adalah musuh bebuyutan. Timbulnya perang dunia II di kawasan Pasifik semakin memperuncing hubungan itu, dimana saat itu Jepang dengan kekuatan imperialis kekaisarannya berusaha menguasai Cina dan juga Korea Selatan dan menimbulkan insiden-insiden kemanusiaan paling mengerikan dalam sejarah. Misalnya saja insiden Pemerkosaan Nanking (The Nanking Rape) di tahun 1937. Saat itu, tentara Jepang memasuki kota Nanking di Cina daratan yang dulu menjadi ibukota, membantai hampir 200.000 penduduknya dan memerkosa banyak wanita Cina bahkan para biksu wanita Buddha sekalipun.

Dengan latar belakang historis seperti itu, semestinya hubungan Cina dan Korea Selatan semestinya harmonis. Tetapi rupanya tidak juga. Keterlibatan Cina yang membantu pihak komunis Korea Utara saat perang Korea tahun 1950 – 1953 masih menyisakan luka bagi banyak orang di Korea Selatan. Ini belum seberapa jika kita ikut membahas eksistensi Taiwan yang berjuang untuk “merdeka” dari Cina saat ini. Jadilah Asia Timur masih berusaha untuk menciptakan stabilitas di antara negara-negara di wilayahnya, dan membuat peta politik di wilayah ini menjadi sangat kompleks, walau tidak sekompleks peta politik Timur Tengah yang sudah dipenuhi hujan bom, peluru, dan darah sampai hari ini.

Dalam masalah demokrasi di Asia, para pembicara juga menyorot krisis politik di Myanmar dan menyerukan perdamaian dan pemulihan demokrasi di negeri seribu pagoda itu. Kebetulan ada salah seorang peserta yang berasal dari Myanmar yang ikut berbagi dengan menceritakan mengenai kondisi negaranya serta harapan-harapannya bagi Myanmar yang damai nantinya.

Pembicaraan yang tidak kalah hangatnya juga adalah mengenai kemerdekaan Taiwan. Entah apakah karena seluruh pembicara yang hadir selama dua hari itu adalah politisi Taiwan, maka hampir seluruh pembicaraannya mengkampanyekan tentang sejarah Taiwan dalam memperjuangkan independensinya dan juga penekanan bahwa Taiwan bukanlah Cina, bukan pula bagian dari Cina, dan adalah sebuah negara berdaulat yang berdiri sendiri.

Mungkin memang Taiwanlah negara paling unik di dunia. Unik karena dia memiliki seluruh syarat yang diperlukan sebagai suatu negara. Punya wilayah sendiri, punya Undang-undang sendiri, punya presiden sendiri, dan juga punya penduduk. Pengakuan luar negeri juga sebenarnya dimiliki oleh Taiwan. Ada 24 negara yang sampai saat ini masih mengakui Taiwan sebagai suatu negara berdaulat. Bahkan hak veto Cina di PBB pernah dipegang oleh Cina Taiwan (Republic of China) yang berhaluan nasionalis-demokratis dari tahun 1949 sampai 1971, saat konstelasi politik perang dingin membuat hak veto itu diberikan kepada negeri Cina daratan (People’s Republic of China) yang berhaluan komunis.

Sayangnya, negara-negara kuat seperti Amerika Serikat dan Inggris serta lembaga internasional seperti PBB belum mau mengakui Taiwan sebagai suatu negara. Jadilah pengakuan Taiwan sebagai negara adalah pengakuan malu-malu. Taiwan pun terus berjuang untuk hal ini, termasuk keinginan Taiwan untuk mendapatkan satu kursi di PBB sebagai sebuah negara. Itulah sebabnya kalau kita melihat kantor-kantor pemerintahan di Taiwan, mereka memasang spanduk besar bertuliskan ‘UN for Taiwan’ sebagai usaha Taiwan untuk mendapatkan pengakuan PBB sebagai sebuah negara berdaulat. Entahlah apakah kemerdekaan Taiwan, seperti yang ditulis Tom Clancy dalam buku novel fiksi terkenalnya, ‘The Bear and The Dragon’ akan jadi kenyataan.

Bagi saya pribadi, mungkin pokok bahasan mengenai warga keturunan Cina (Chinese overseas) adalah hal yang paling menarik. Menarik, karena masalah etnis Cina sering menjadi masalah yang pelik dalam hubungan sosial dan ekonomi di banyak negara. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia yang memiliki penduduk etnis Cina. Masalahnya memang tidak jauh dari konflik antara etnis keturunan Cina dengan penduduk lokal khususnya dalam masalah ekonomi. Dan perlakuan di tiap negara pun berbeda-beda.

Di beberapa negara, etnis Cina sangat dihormati dan justru memegang peranan penting yang diakui dalam bidang ekonomi. Singapura dan Mongolia adalah contoh yang paling jelas. Ada negara juga yang mengkastakan etnis Cina dalam golongan tertentu yang hanya punya ruang gerak terbatas dibandingkan dengan penduduk lokal. Malaysia dan Filipina adalah contohnya. Ada juga yang tidak terlalu mempermasalahkan mengenai etnis, termasuk etnis Cina, dan membiarkan masalah penguasaan ekonomi dan sosial kepada seleksi alam. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris adalah contohnya. Indonesia memang sulit untuk digolongkan ke manapun mengingat kita tidak menganut penggolongan etnis khusus untuk masalah etnis Cina seperti di Malaysia, tetapi dalam kenyataannya di lapangan benturan etnis Cina dan penduduk lokal selalu menjadi bom waktu yang siap menjadi masalah besar sewaktu-waktu.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk di dunia, memang tidak bisa dipungkiri kalau banyak orang keturunan Cina yang memilih merantau dan membaur dengan negara lain tempat mereka berada. Persebaran etnis Cina di berbagai negara ini mungkin bisa dianalogikan dengan persebaran pemain sepakbola keturunan Brazil di berbagai negara. Keterbatasan pemain asal Brazil untuk bermain dalam tim nasional mereka membuat banyak pemain yang asalnya adalah warga negara Brazil memilih pindah kewarga negaraan dan membela timnas sepakbola negara lain.

Sebenarnya masalah etnis Cina di negara lain atau Chinese overseas ini pun menjadi perhatian di negara-negara Cina induk seperti Cina, Taiwan, atau Hong Kong. Mereka sadar bahwa dalam kesehariannya banyak sekali konflik yang timbul antara penduduk etnis Cina dengan masyarakat lokal tempat mereka berada. Itulah sebabnya mereka selalu membuka diri bagi warga etnis Cina yang ingin kembali ke negara leluhurnya. Taiwan misalnya, memberi beasiswa dan jaminan khusus bagi etnis keturunan Cina dari negara lain yang ingin bekerja dan belajar di Taiwan.

Masalah etnis Cina ini pun sempat hangat dalam acara workshop ini. Salah seorang peserta yang kebetulan adalah orang Taiwan yang pernah bekerja sebagai pegawai di Konsulat Taiwan di Thailand, mengemukakan opini bahwa etnis Cina banyak dimusuhi karena mereka hanya mementingkan masalah ekonomi mereka pribadi dan tidak ambil peduli mengenai kondisi masyarakat lokal dan negara tempat mereka berada.

Hal ini pun kemudian menjadi bola panas saat dua orang peserta yang berasal dari Myanmar serta kawan saya dari Indonesia yang kebetulan warga keturunan menginterupsi pernyataan itu. Mereka membantah dengan keras dan mengatakan bahwa tidak sepatutnya kelakuan etnis Cina dimana-mana digeneralisir dengan buruk. Karena tidak sedikit juga etnis Cina yang kemudian ikut membantu negara tempat mereka berada dan memiliki rasa nasionalisme yang lebih besar kepada negara tempat mereka berada ketimbang negara Cina sendiri. Kawan dari Indonesia memberi contoh pada saat serah terima Hong Kong dari Inggris ke Cina tahun 1997. Saat itu pemerintah baru Hong Kong menyatakan membuka diri bagi siapapun etnis keturunan Cina yang memilih untuk kembali dan tinggal di Hong Kong. Tetapi khusus di Indonesia, hanya sedikit sekali etnis keturunan Cina yang memilih hal tersebut. Jauh lebih banyak yang lebih memilih menetap di Indonesia karena merasa sebagai warga negara Indonesia.

Banyak pula langkah pembauran yang dilakukan warga etnis Cina di Indonesia, seperti mengubah nama mereka menjadi nama Indonesia, menikah dengan orang pribumi, sampai memilih masuk Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia. Tidak sedikit pula etnis Cina yang ikut membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nama-nama seperti Auw Jong Peng Kon (P.K. Ojong), Ong Hok Ham, atau Oei Tju Tat adalah beberapa diantaranya. Bahkan tokoh pergerakan mahasiswa yang terkenal di Indonesia yakni Soe Hok Gie, adalah etnis Cina juga. Untunglah adu argument ini tidak sampai mengarah ke tindakan anarkis.

Cukup banyak sekali pengalaman yang bisa dipetik dari acara Workshop 2 hari ini bagi para peserta. Mulai dari melatih bahasa Mandarin mengingat workshop disajikan dalam bahasa Mandarin, mengenal banyak kawan dari berbagai negara, dan terutama menambah wawasan mengenai hubungan luar negeri dengan Cina. Bahkan seorang kawan dari Turki pun memberi kesan bahwa dia tidak berpikir bahwa begitu banyak hal yang menarik dalam mempelajari politik di Cina dan Asia Timur pada khususnya.

Mungkin yang perlu kita petik pelajaran nantinya adalah hubungan dengan etnis Cina yang selama ini selalu menjadi benturan sosiologis di Indonesia. Mungkin ada benarnya juga kata-kata dari kawan saya yang termasuk warga keturunan itu. Perjuangan etnis Cina untuk bias diakui sebagai bagian dari Indonesia memakan waktu yang panjang dengan usaha yang keras. Awalnya mereka harus menerima “makian” sebagai warga keturunan yang lebih memiliki kesan negatif, sampai akhirnya tahun baru Cina diakui sebagai libur nasional di Indonesia. Dalam masalah relijius, masjid Lao Tze di bilangan Jakarta Utara pun sudah menunjukkan sejarah pembauran warga keturunan yang tidak sedikit pula mendapatkan hidayah memeluk agama Islam.

Bicara etnis Cina memang hanya membicarakan sekelumit dari kemajemukan yang ada di Indonesia. Dan diakui atau tidak, sejak pertama kali Indonesia berdiri, kita sudah dihadapkan dengan fakta kondisi kemajemukan dalam masalah suku, etnis, agama, budaya, aliran, dan lain sebagainya. Sesuatu yang tidak akan pernah bisa dihilangkan dari Indonesia. Kita berhadapan dengan masalah itu dan kita masih selalu belajar dalam proses menerima kemajemukan yang ada.

Dan bicara mengenai etnis Cina pun, kita harus menerima fakta bahwa sejarah mereka di Indonesia pun memakan waktu yang panjang. Jauh sebelum ada nama-nama seperti Auw Jong Peng Kon atau Soe Hok Gie, sejarah sudah mencatat perjalanan laksamana Cheng Ho dari Tiongkok ke tanah Jawa, atau bagaimana kota Palembang didirikan dengan mengambil nama seorang Cina muslim bernama Pai Li Bang, atau bahwa sunan Gunung Jati pun pernah memperistri salah satu putri Kaisar Cina.

Sepertinya sejarah sudah mencatat bahwa etnis Cina sudah punya hubungan yang erat dengan bangsa ini sejak dari zaman purbakala.

馬富月

Ma Fu-Yue

Muhammad Rizki Ramadhani

No comments: