Tanggal 8 – 9 Desember 2007 yang lalu, saya berkesempatan mengikuti kegiatan Asian Democracy Workshop yang diselenggarakan oleh Democratic Pacific Union (DPU). DPU sendiri adalah persatuan negara-negara demokrasi yang berada di kawasan Asia Pasifik dengan jumlah 28 negara (termasuk Indonesia dan Taiwan), yang bertujuan untuk menjalin kerjasama dalam membangun demokrasi, perlindungan HAM, dan juga mengkampanyekan perdamaian global khususnya di Asia Pasifik. Saat ini ketua umum DPU dijabat oleh Annette Lu (Lu Hsiu-Lien) yang juga adalah wakil presiden
Dalam workshop yang diselenggarakan selama 2 hari tersebut, para pembicara yang merupakan pakar politik dari beberapa kampus di
Dalam masalah perbandingan politik Asia, seorang pembicara memaparkan dengan jelas pandangannya mengenai bagaimana pemerintahan dan demokrasi diimplementasikan di tiap-tiap negara di Asia termasuk
Cina dan Jepang sudah dari zaman dulu adalah musuh bebuyutan. Timbulnya perang dunia II di kawasan Pasifik semakin memperuncing hubungan itu, dimana saat itu Jepang dengan kekuatan imperialis kekaisarannya berusaha menguasai Cina dan juga Korea Selatan dan menimbulkan insiden-insiden kemanusiaan paling mengerikan dalam sejarah. Misalnya saja insiden Pemerkosaan Nanking (The Nanking Rape) di tahun 1937. Saat itu, tentara Jepang memasuki kota Nanking di Cina daratan yang dulu menjadi ibukota, membantai hampir 200.000 penduduknya dan memerkosa banyak wanita Cina bahkan para biksu wanita Buddha sekalipun.
Dengan latar belakang historis seperti itu, semestinya hubungan Cina dan Korea Selatan semestinya harmonis. Tetapi rupanya tidak juga. Keterlibatan Cina yang membantu pihak komunis Korea Utara saat perang
Dalam masalah demokrasi di Asia, para pembicara juga menyorot krisis politik di
Pembicaraan yang tidak kalah hangatnya juga adalah mengenai kemerdekaan
Mungkin memang Taiwanlah negara paling unik di dunia. Unik karena dia memiliki seluruh syarat yang diperlukan sebagai suatu negara. Punya wilayah sendiri, punya Undang-undang sendiri, punya presiden sendiri, dan juga punya penduduk. Pengakuan luar negeri juga sebenarnya dimiliki oleh Taiwan. Ada 24 negara yang sampai saat ini masih mengakui Taiwan sebagai suatu negara berdaulat. Bahkan hak veto Cina di PBB pernah dipegang oleh Cina Taiwan (Republic of China) yang berhaluan nasionalis-demokratis dari tahun 1949 sampai 1971, saat konstelasi politik perang dingin membuat hak veto itu diberikan kepada negeri Cina daratan (People’s Republic of China) yang berhaluan komunis.
Sayangnya, negara-negara kuat seperti Amerika Serikat dan Inggris serta lembaga internasional seperti PBB belum mau mengakui Taiwan sebagai suatu negara. Jadilah pengakuan Taiwan sebagai negara adalah pengakuan malu-malu. Taiwan pun terus berjuang untuk hal ini, termasuk keinginan Taiwan untuk mendapatkan satu kursi di PBB sebagai sebuah negara. Itulah sebabnya kalau kita melihat kantor-kantor pemerintahan di Taiwan, mereka memasang spanduk besar bertuliskan ‘UN for Taiwan’ sebagai usaha Taiwan untuk mendapatkan pengakuan PBB sebagai sebuah negara berdaulat. Entahlah apakah kemerdekaan Taiwan, seperti yang ditulis Tom Clancy dalam buku novel fiksi terkenalnya, ‘The Bear and The Dragon’ akan jadi kenyataan.
Bagi saya pribadi, mungkin pokok bahasan mengenai warga keturunan Cina (Chinese overseas) adalah hal yang paling menarik. Menarik, karena masalah etnis Cina sering menjadi masalah yang pelik dalam hubungan sosial dan ekonomi di banyak negara. Tidak hanya di
Di beberapa negara, etnis Cina sangat dihormati dan justru memegang peranan penting yang diakui dalam bidang ekonomi. Singapura dan Mongolia adalah contoh yang paling jelas. Ada negara juga yang mengkastakan etnis Cina dalam golongan tertentu yang hanya punya ruang gerak terbatas dibandingkan dengan penduduk lokal. Malaysia dan Filipina adalah contohnya. Ada juga yang tidak terlalu mempermasalahkan mengenai etnis, termasuk etnis Cina, dan membiarkan masalah penguasaan ekonomi dan sosial kepada seleksi alam. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris adalah contohnya. Indonesia memang sulit untuk digolongkan ke manapun mengingat kita tidak menganut penggolongan etnis khusus untuk masalah etnis Cina seperti di Malaysia, tetapi dalam kenyataannya di lapangan benturan etnis Cina dan penduduk lokal selalu menjadi bom waktu yang siap menjadi masalah besar sewaktu-waktu.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk di dunia, memang tidak bisa dipungkiri kalau banyak orang keturunan Cina yang memilih merantau dan membaur dengan negara lain tempat mereka berada. Persebaran etnis Cina di berbagai negara ini mungkin bisa dianalogikan dengan persebaran pemain sepakbola keturunan Brazil di berbagai negara. Keterbatasan pemain asal Brazil untuk bermain dalam tim nasional mereka membuat banyak pemain yang asalnya adalah warga negara Brazil memilih pindah kewarga negaraan dan membela timnas sepakbola negara lain.
Sebenarnya masalah etnis Cina di negara lain atau Chinese overseas ini pun menjadi perhatian di negara-negara Cina induk seperti Cina, Taiwan, atau Hong Kong. Mereka sadar bahwa dalam kesehariannya banyak sekali konflik yang timbul antara penduduk etnis Cina dengan masyarakat lokal tempat mereka berada. Itulah sebabnya mereka selalu membuka diri bagi warga etnis Cina yang ingin kembali ke negara leluhurnya. Taiwan misalnya, memberi beasiswa dan jaminan khusus bagi etnis keturunan Cina dari negara lain yang ingin bekerja dan belajar di Taiwan.
Masalah etnis Cina ini pun sempat hangat dalam acara workshop ini. Salah seorang peserta yang kebetulan adalah orang Taiwan yang pernah bekerja sebagai pegawai di Konsulat Taiwan di Thailand, mengemukakan opini bahwa etnis Cina banyak dimusuhi karena mereka hanya mementingkan masalah ekonomi mereka pribadi dan tidak ambil peduli mengenai kondisi masyarakat lokal dan negara tempat mereka berada.
Hal ini pun kemudian menjadi bola panas saat dua orang peserta yang berasal dari Myanmar serta kawan saya dari Indonesia yang kebetulan warga keturunan menginterupsi pernyataan itu. Mereka membantah dengan keras dan mengatakan bahwa tidak sepatutnya kelakuan etnis Cina dimana-mana digeneralisir dengan buruk. Karena tidak sedikit juga etnis Cina yang kemudian ikut membantu negara tempat mereka berada dan memiliki rasa nasionalisme yang lebih besar kepada negara tempat mereka berada ketimbang negara Cina sendiri. Kawan dari
Banyak pula langkah pembauran yang dilakukan warga etnis Cina di Indonesia, seperti mengubah nama mereka menjadi nama Indonesia, menikah dengan orang pribumi, sampai memilih masuk Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia. Tidak sedikit pula etnis Cina yang ikut membantu perjuangan kemerdekaan
Cukup banyak sekali pengalaman yang bisa dipetik dari acara Workshop 2 hari ini bagi para peserta. Mulai dari melatih bahasa Mandarin mengingat workshop disajikan dalam bahasa Mandarin, mengenal banyak kawan dari berbagai negara, dan terutama menambah wawasan mengenai hubungan luar negeri dengan Cina. Bahkan seorang kawan dari Turki pun memberi kesan bahwa dia tidak berpikir bahwa begitu banyak hal yang menarik dalam mempelajari politik di Cina dan Asia Timur pada khususnya.
Mungkin yang perlu kita petik pelajaran nantinya adalah hubungan dengan etnis Cina yang selama ini selalu menjadi benturan sosiologis di
Bicara etnis Cina memang hanya membicarakan sekelumit dari kemajemukan yang ada di
Dan bicara mengenai etnis Cina pun, kita harus menerima fakta bahwa sejarah mereka di
Sepertinya sejarah sudah mencatat bahwa etnis Cina sudah punya hubungan yang erat dengan bangsa ini sejak dari zaman purbakala.
馬富月
Ma Fu-Yue
Muhammad Rizki Ramadhani
No comments:
Post a Comment