Monday, 31 December 2007

Tahun baru di Taipei

Xin nian kuai le

Selamat tahun baru dari Taipei, wish you all the best for 2008.

Inilah tahun baru pertama saya di luar negeri. Alhamdulillah, saya bisa mengalaminya juga. Ini impian masa kecil yang terkabul.

Ramai sekali malam tahun baru di Taipei. Dunhua Road sampai diblok karena membludaknya pengunjung di depan Sun Yat-Sen Memorial Hall yang ingin menyaksikan pesta kembang api di Taipei 101.

Pesta kembang api di Taipei 101 malam ini cukup meriah. Pemerintah Taiwan bahkan kalau tidak salah menyiapkan kurang lebih 3.1 juta NT dolar untuk pesta kembang api ini. Yang terbesar bahkan. Wajar sih karena sepertinya tahun 2007 adalah terakhir kalinya Taipei 101 menjadi bangunan tertinggi di dunia. Tahun 2008 ini, rekor bangunan tertinggi di dunia akan dipegang oleh Burj Dubai di Uni Emirat Arab yang akan segera diresmikan. "Menara Babel" berikutnya.

Walaupun suhu malam ini mencapai 12 derajat celcius, tapi suasana begitu ramai. Kami berlima tadi, aku, Rocky, Pak Dedi yang calon direktur LIPI (he...he...), Jaya "Big Zay" dengan kamera barunya (^__^) dan seorang kawan dari Taiwan. Berteman minuman hangat, dibawah kembang api warna warni, menikmati malam tahun baru di Taipei.

Aku bukan tidak bersimpati dengan kondisi di Tanah Air, cuman ada kalanya kita behenti sejenak untuk mengumpulkan kekuatan lagi. Sembari mengambil hikmah dari setiap kondisi yang kita alami. Itulah tadi yang kami alami berlima di lapangan Sun Yat-Sen Memorial Hall.

Memperbaharui semangat, menggagas harapan kembali. Oke, apa harapanku di hari yang baru. Hmmm....R A H A S I A. (^__^)

Yang jelas selalu untuk hal-hal yang positif. Wish you the best for the coming 2008. Salam hangat dari Taipei.

- Ma Fu-Yue -

Sunday, 30 December 2007

Selamat datang PKS Watch

Alhamdulillah, blog favorit saya kembali muncul. PKS Watch. Satu-satunya tempat dimana saya bisa mengklarifikasi dan berbagi keprihatinan atas fenomena dakwah dan tarbiyah di Indonesia.

Bagi kawan-kawan yang ingin mengetahui seperti apa itu, silahkan klik link di friends link saya.

Saya tidak akan pernah berhenti mengkritik mereka yang menggunakan kata suci seperti "dakwah" hanya untuk kepentingan pribadi dan golongannya saja, dengan seringkali menyakiti rekan-rekan sesama muslim yang lain.

Tidak akan pernah saya mundur dari jalan ini meskipun seribu caci maki, umpatan, pengucilan, olok-olokan pernah saya rasakan. Saya cukup punya satu Tuhan. Allah, SWT. Dia yang akan menilai ibadah saya dan bukan yang lain.

Bang DOS, tetap semangat dengan blognya. Tentu lebih konstruktif ya nantinya.

- Ma Fu-Yue -

Friday, 28 December 2007

Taipei diary today: back to origin

Taipei, 28 Desember 2008

Ada dua berita bahagia hari ini. Pertama seorang kawan di NTUST Taiwan berhasil melewati ujian jump track sehingga dia bisa melanjutkan Ph.D. langsung tanpa harus menyelesaikan master degreenya. Dia akan memperpanjang waktunya di Taiwan.

Yang kedua kawan yang akan menikah tanggal 6 Januari nanti. Dia orang Indonesia tetapi calon pasangannya adalah keturunan Palestina-Yordania yang berdomisili di Jerman. Dia akan memperpendek waktunya di Taiwan.

Yang satu baru memulai, yang satu akan segera selesai. Satu memori yang teringat di kepalaku adalah impianku untuk pergi ke luar negeri dan bertualang. Walaupun aku tidak mengetahui sama sekali bahwa kedua-duanya akan aku alami disini, di Taiwan.

Mungkin tidak semua tahu hal terakhir yang terjadi sebelum aku berangkat ke Taiwan untuk melanjutkan master degree. Well, akan kuceritakan semuanya disini. Sejujurnya aku sudah diterima di UI dan ITB untuk program S2 sebelum diterima di Taiwan. Sempat aku mencoba aplikasi ke Turki juga, walaupun akhirnya aku diterima disini. National Taiwan University, Taiwan.

Seminggu sesudah kedatanganku disini, aku dipanggil untuk mengikuti training kepemudaan internasional di Sydney, Australia. Sayang tidak kuambil karena urusan administrasi disini agak lama dan juga kuliah sudah mulai padat di awal. Sebulan kemudian, ganti Kedubes Turki mengirim email bahwa aku diterima di Istanbul Technical University, Turki. Inikah mungkin penyesalan terbesarku karena sudah sejak dulu aku ingin sekali ke Turki.

Jujur aku takut tidak diterima di mana-mana waktu mencoba mendaftar S2 dulu, sementara tempat-tempat belajar populer semisal Jerman, Belanda, atau Australia sudah tutup semua. Aku cuman tidak menyangka sama sekali bahwa percobaan mencari lowongan master ini berhasil semua di tempat yang aku coba.

Sayang beribu sayang sih. Tapi Taiwan pun sudah cukup bagus. Aku juga sudah mengikuti parlemen pemuda versi Taiwan awal Desember lalu jadi anggap saja semua impas di pulau kecil di Saumdra Pasifik ini.

Pada akhirnya semua tinggal kenangan. Dari dulu impianku memang ke luar negeri, bukan menjelajah luar negeri. Sayang memang gak bisa ke Turki atau Australia. Tapi dengan di Taiwan pun keinginanku terkabul bukan ? He...he.....Menikmati indahnya Formosa.

Ah...pesta dan berita sudah usai. Sekarang kembali ke keseharian, menikmati PR yang entah kenapa sekarang jadi sangat kurindukan, bulutangkis, Tai Chi, dan seribu puisi Formosa yang masih ingin kubuat.

Tuhanku, aku akan selalu berusaha bersykur padamu walaupun dalam kesempitanku. Terima kasih telah menempatkanku di pulau ini.

Anyway, aku dapat tawaran double degree di University of Liverpool, Inggris untuk program MBA metode pengajaran e-learning. Sudah banyak yang tersia-sia. Maka saat ini jangan lagi ada yang tersia-sia, dan aku harus bertanggung jawab akan langkahku sendiri.

OK, mata sudah ngantuk.

Thursday, 27 December 2007

Last Combo of the Semester

Taipei, 27 - 12 - 2007

At last, final "Combo" of this semester ................

1. Medical Photonics :
--> Final Presentation

2. Introduction to Display Technologies :
--> Homework 4
--> Final Exam

3. Wide Gap Semiconductor Technologies :
--> Homework 7
--> Homework 8
--> Final Exam

4. Wireless Ad-Hoc Networks :
--> Final Mini-Project

5. Special Project
--> Lab Presentation
--> Final Topic
--> MATLAB tasks

Fiuh.................from new year's eve 01 - 01 - 2007 to 21 - 01 - 2008. Wish me luck. Sorry because I will be very busy this month.

- Rizki -

Wednesday, 26 December 2007

Pernikahan "Singkat" di awal, sebuah trend ????

Saat aku menerima pesan di YM dari kawan di Taiwan yang menyatakan bahwa dia akan menikah awal 2008 nanti, aku bersyukur sekaligus bertanya-tanya. Bagus memang karena dia akan menikah, tapi dia masih harus melanjutkan pendidikannya di Taiwan setahun lagi. Dan yang luar biasa, calon suaminya sampai saat ini juga masih berstatus mahasiswa di Jerman dan masih harus melanjutkan kuliah setahun atau dua tahun lagi. Artinya, mereka berdua akan menikah di Jakarta nanti. Kemudian bersama-sama selama liburan musim dingin yang hanya sekitar dua minggu di Indonesia . Dan kemudian kembali ke tempat masing – masing. Satu di Taiwan, satu di Jerman. Satu di timur, satu di barat, dan berpisah minimal setahun.

Mungkin yang teringat dalam pikiranku adalah kondisi pribadiku sebelum berangkat ke Taiwan . Menikah baru 2 minggu, dan sudah harus meninggalkan keluarga untuk berangkat ke Taiwan . Sempat ada juga yang mengolok – olok aku dalam hal ini, tetapi sesampainya aku di Taiwan . Rupanya aku baru sadar kalau “kasus” seperti aku tidak sedikit.

Ada kawan di Taipei yang juga sama. Baru menikah sebulan, kemudian pisah karena dia harus melanjutkan pendidikan di Taiwan. Sementara istrinya juga mesti melanjutkan pendidikan ke Melbourne , Australia . Ada senior Ph. D. juga, kasusnya tidak begitu ekstrem sih tapi tetap aja unik. Beliau kuliah di Taiwan , akan segera melanjutkan lagi ke Jepang, dan selama kuliahnya di Taiwan sempat meninggalkan istri yang saat itu dalam keadaan hamil. Dan istrinya saat itu sedang kelanjutkan pendidikan di Malaysia . Jadilah harus bolak-balik TaiwanMalaysia . Aku jadi teringat juga sebelum berangkat ada juga kawan yang meninggalkan istri dalam keadaan hamil untuk melanjutkan pendidikan di Singapura.

Sedikit unik. Menikah sebentar, kemudian pisah untuk waktu yang tidak ditentukan. Bisa cepat, bisa lama. Aku pernah ngobrol mengenai hal ini dengan rekan mahasiswa internasional asal Spanyol di Taipei. Dia kaget saat tahu aku sudah menikah di umur 23, dan kaget juga mendengar “kasus-kasus” seperti ini. Rumit banget katanya, kenapa gak tunda dulu nikahnya sampai sesudah kembali lagi ke tempat asal. Entahlah, mungkin dia yang berasal dari Spanyol, wilayah Eropa yang sudah jelas banyak terjadi seks bebas menganggap metode nikah 'singkat' di awal ini aneh.

Tapi dengan adanya banyak kasus, aku juga jadi bertanya-tanya. Sebenarnya kenapa mulai banyak terjadi hal ini. Terutama bagi para mahasiswa yang akan melanjutkan kuliah ke luar negeri. Hal seperti ini tidak bias dibilang salah. Ada positif maupun negatifnya.

Mungkin positifnya adalah adanya komitmen di awal. Sehingga para pengantin baru yang akan menempuh kuliah di luar negeri tidak repot-repot memikirkan urusan nikah dan jodoh, serta lebih fokus saat kuliah nanti. Dan itu menjamin mahasiswa yang di luar negeri tidak ‘macam-macam’ (tidak ‘macam-macam’ ???? apa artinya nih, positif atau negatif ?? Ha...ha...).

Tapi di sisi lain, masa awal yang singkat ini tentu akan menyulitkan bagi pengenalan awal kedua pasangan yang baru menikah. Masa-masa awal pernikahan yang mestinya diisi dengan saling mengenal kedua pasangan pun harus diinterupsi karena kewajiban untuk menuntut ilmu di tempat yang jauh untuk waktu yang bisa jadi lama. Kemudian berganti jarak yang jauh dan rasa saling percaya di antara kedua pasangan yang mesti dipertebal dalam waktu-waktu mereka berpisah.

Positif ada, negatif juga ada. Cuman dengan semakin banyaknya trend seperti ini, setidaknya yang saya lihat di Taiwan ditambah cerita beberapa kawan-kawan yang juga sedang kuliah di luar negeri, apakah memang metode nikah ‘singkat’ diawal ini jadi tren bagi kawan-kawan yang akan kuliah di luar negeri ??? Apakah mereka sudah memikirkan sisi psikologis, dan juga lain sebagainya ketimbang memfokuskan kuliah dulu ???

Sebenarnya ini pun pertanyaan yang kembali kepada diri saya sendiri. Karena saya pun berada dalam lingkaran itu. Hmmmm.......mungkin satu hal yang mendorong hal itu adalah kepastian (kepastian bahwa pujaan hati gak disambar orang kali ha...ha....) .

Lagipula tergantung seperti apa kita merencanakan kuliah, kita pun bisa membawa serta pasangan atau minimal bolak-balik (kantong yang kempessssss…….). Pengalaman kawan-kawan yang sudah mengalami masa nikah ‘singkat’ diawal menunjukkan bahwa mereka bisa menempuh itu sebagai ujian. Dan mereka bisa menjalani itu dengan baik, walaupun menikah dengan proses yang cepat, waktu yang cepat, hanya bersama-sama diawal dalam waktu yang singkat, dan kemudian berpisah.

Bukankah Adam dan Hawa juga pernah terpisah sejauh Padang Arafah dan Hindustan . Atau Ibnu Hazm yang orang Cordova harus terpisah dari istrinya yang keturunan berber Maroko dalam sejarah. Buat yang nanti mau kuliah ke luar, dan memutuskan nikah dulu, yah bias melihat lah dan mempertimbangkan kondisi yang ada.

Sementara itu kembali ke kawan yang mau nikah dan segera ‘berpisah’ itu, fiuhhhhhh……aku gak bisa bayangin deh. Kupikir aku sudah contoh paling ‘gila’ yang sudah ada dalam sejarah pernikahan. Mungkin suatu saat ada dua orang, satu bekerja di kutub utara dan satu di kutub selatan, tiba-tiba menjadi jodoh dan menikah, terus kembali ke tempat masing-masing dan hanya bertemu sekali setahun. Waduh………….

Jadi berpikir lagi deh kata-katanya Ernest Hemmingway, LOVE IS CRAZY




馬富月

國立台灣大學

台北市

Ma Fu-Yue
National Taiwan University
Graduate Institute of Photonics & Optoelectronics
Taipei City
Taiwan

Email : riz_poetry@yahoo. com
Personal blog : http://rizkiramadhani.blogspot. com

Monday, 24 December 2007

Love and Taipei Winter

Taipei, 25 Desember 2007

Taipei dingin sekali hari ini, ditambah hujan deras yang terus mengguyur seharian. Yah....seperti inilah musim dingin di Taipei. Musim dingin yang aneh memang, karena Taiwan sendiri secara geografis terletak di daerah subtropis dimana tidak turun salju. Tapi tetap saja dingin ini menusuk tulang. Kalau seperti ini saja sudah dingin sekali aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau aku ada di tengah salju betulan. Nampaknya aku memang harus bersyukur karena berada di Taiwan yang sedikit banyak mirip dengan Indonesia.

Ini malam Natal, tapi tetap biasa saja di Taipei. Dingin, malam sedikit lebih panjang daripada siang, dan tetap dengan kesibukan kampus dan pekerjaan. Aku ada kuliah siang nanti, dan Taiwan tidak libur saat Natal. Seperti halnya saat Idul Fitri dan Idul Adha yang juga tidak libur.

Sebenarnya aku ingin sekali berada di luar untuk menikmati pemandangan alam, sekaligus membaca buku di taman seperti kebiasaanku sebelum hari-hari sibuk disini. Cuman sepertinya itu tidak bisa dilakukan dengan suhu sedingin ini

Aku belum terlalu ngantuk, jadi selepas nonton film "Hitman", kusempatkan diri untuk mencek kembali arsip-arsip identitasku. Hah.....masih seperti dulu. Cuman kurang transkrip akademik S1-ku saja yang sudah hilang, tapi aku pun tidak terlalu memikirkannya.

Satu folder penuh identitas, dan sisa-sisa dari pertempuran masa lalu. Buang dan bakar yang tidak penting. Sepertinya aku memang kejam dengan masa laluku, tapi apa lagi yang bisa kulakukan demi ketenangan hidup pribadiku.

Pertempuran di semester 1 pun sudah hampir selesai. Dari seluruh kuliahku, aku mungkin cuman khawatir sama midterm Wireless Ad-Hoc Network yang sepertinya kacau balau, walaupun aku tahu seluruh mahasiswa di kelas rata-rata kacau di midterm yang sangat susah itu. Hmm.....tapi aku gak mau menyalahkan apapun lagi. Saat aku sudah menetapkan dimana pilihanku, melihat jalan lurus di depanku, dan membuang semua hal-hal yang mengganggu.

Seminggu lagi tahun baru ya. Tentu ada niat yang harus dideklarasikan nanti. Ah...Taipei masih saja dingin.

- Rizki -

Taiwan, Etnis Cina, dan Segala Keunikan serta Permasalahannya

Tanggal 8 – 9 Desember 2007 yang lalu, saya berkesempatan mengikuti kegiatan Asian Democracy Workshop yang diselenggarakan oleh Democratic Pacific Union (DPU). DPU sendiri adalah persatuan negara-negara demokrasi yang berada di kawasan Asia Pasifik dengan jumlah 28 negara (termasuk Indonesia dan Taiwan), yang bertujuan untuk menjalin kerjasama dalam membangun demokrasi, perlindungan HAM, dan juga mengkampanyekan perdamaian global khususnya di Asia Pasifik. Saat ini ketua umum DPU dijabat oleh Annette Lu (Lu Hsiu-Lien) yang juga adalah wakil presiden Taiwan. Hadir dalam acara ini mahasiswa dari hampir seluruh Universitas di Taiwan. Tidak hanya mahasiswa lokal, tetapi juga mahasiswa internasional dari berbagai Negara seperti Vietnam, Korea Selatan, Turki, Indonesia, dan lain sebagainya.

Dalam workshop yang diselenggarakan selama 2 hari tersebut, para pembicara yang merupakan pakar politik dari beberapa kampus di Taiwan dan juga beberapa aktivis partai seperti dari Kuomintang dan Partai Progresif Demokrat (Partai berkuasa di Taiwan saat ini). Ada 3 pokok bahasan yang paling menarik dalam workshop ini adalah perbandingan politik di negara-negara Asia, kemerdekaan Taiwan, dan terakhir adalah masalah penduduk keturunan Cina (Chinese overseas) yang tersebar di berbagai dunia.

Dalam masalah perbandingan politik Asia, seorang pembicara memaparkan dengan jelas pandangannya mengenai bagaimana pemerintahan dan demokrasi diimplementasikan di tiap-tiap negara di Asia termasuk Indonesia. Tapi yang paling unik adalah bagaimana melihat hubungan luar negeri dan politik negara-negara di Asia Timur yang sangat kompleks. Kita bisa melihatnya dalam hubungan antara 3 negara terbesar di Asia timur yakni Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Unik karena bagi orang luar yang tidak mengerti sejarah Asia Timur, ketiga Negara ini terlihat mirip. Postur orang-orangnya, budayanya, sedikit banyak bahasanya, dan lain sebagainya. Padahal rupanya tidak seperti itu adanya, karena ketiganya menyimpan bara dalam sekam pada sejarahnya.

Cina dan Jepang sudah dari zaman dulu adalah musuh bebuyutan. Timbulnya perang dunia II di kawasan Pasifik semakin memperuncing hubungan itu, dimana saat itu Jepang dengan kekuatan imperialis kekaisarannya berusaha menguasai Cina dan juga Korea Selatan dan menimbulkan insiden-insiden kemanusiaan paling mengerikan dalam sejarah. Misalnya saja insiden Pemerkosaan Nanking (The Nanking Rape) di tahun 1937. Saat itu, tentara Jepang memasuki kota Nanking di Cina daratan yang dulu menjadi ibukota, membantai hampir 200.000 penduduknya dan memerkosa banyak wanita Cina bahkan para biksu wanita Buddha sekalipun.

Dengan latar belakang historis seperti itu, semestinya hubungan Cina dan Korea Selatan semestinya harmonis. Tetapi rupanya tidak juga. Keterlibatan Cina yang membantu pihak komunis Korea Utara saat perang Korea tahun 1950 – 1953 masih menyisakan luka bagi banyak orang di Korea Selatan. Ini belum seberapa jika kita ikut membahas eksistensi Taiwan yang berjuang untuk “merdeka” dari Cina saat ini. Jadilah Asia Timur masih berusaha untuk menciptakan stabilitas di antara negara-negara di wilayahnya, dan membuat peta politik di wilayah ini menjadi sangat kompleks, walau tidak sekompleks peta politik Timur Tengah yang sudah dipenuhi hujan bom, peluru, dan darah sampai hari ini.

Dalam masalah demokrasi di Asia, para pembicara juga menyorot krisis politik di Myanmar dan menyerukan perdamaian dan pemulihan demokrasi di negeri seribu pagoda itu. Kebetulan ada salah seorang peserta yang berasal dari Myanmar yang ikut berbagi dengan menceritakan mengenai kondisi negaranya serta harapan-harapannya bagi Myanmar yang damai nantinya.

Pembicaraan yang tidak kalah hangatnya juga adalah mengenai kemerdekaan Taiwan. Entah apakah karena seluruh pembicara yang hadir selama dua hari itu adalah politisi Taiwan, maka hampir seluruh pembicaraannya mengkampanyekan tentang sejarah Taiwan dalam memperjuangkan independensinya dan juga penekanan bahwa Taiwan bukanlah Cina, bukan pula bagian dari Cina, dan adalah sebuah negara berdaulat yang berdiri sendiri.

Mungkin memang Taiwanlah negara paling unik di dunia. Unik karena dia memiliki seluruh syarat yang diperlukan sebagai suatu negara. Punya wilayah sendiri, punya Undang-undang sendiri, punya presiden sendiri, dan juga punya penduduk. Pengakuan luar negeri juga sebenarnya dimiliki oleh Taiwan. Ada 24 negara yang sampai saat ini masih mengakui Taiwan sebagai suatu negara berdaulat. Bahkan hak veto Cina di PBB pernah dipegang oleh Cina Taiwan (Republic of China) yang berhaluan nasionalis-demokratis dari tahun 1949 sampai 1971, saat konstelasi politik perang dingin membuat hak veto itu diberikan kepada negeri Cina daratan (People’s Republic of China) yang berhaluan komunis.

Sayangnya, negara-negara kuat seperti Amerika Serikat dan Inggris serta lembaga internasional seperti PBB belum mau mengakui Taiwan sebagai suatu negara. Jadilah pengakuan Taiwan sebagai negara adalah pengakuan malu-malu. Taiwan pun terus berjuang untuk hal ini, termasuk keinginan Taiwan untuk mendapatkan satu kursi di PBB sebagai sebuah negara. Itulah sebabnya kalau kita melihat kantor-kantor pemerintahan di Taiwan, mereka memasang spanduk besar bertuliskan ‘UN for Taiwan’ sebagai usaha Taiwan untuk mendapatkan pengakuan PBB sebagai sebuah negara berdaulat. Entahlah apakah kemerdekaan Taiwan, seperti yang ditulis Tom Clancy dalam buku novel fiksi terkenalnya, ‘The Bear and The Dragon’ akan jadi kenyataan.

Bagi saya pribadi, mungkin pokok bahasan mengenai warga keturunan Cina (Chinese overseas) adalah hal yang paling menarik. Menarik, karena masalah etnis Cina sering menjadi masalah yang pelik dalam hubungan sosial dan ekonomi di banyak negara. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia yang memiliki penduduk etnis Cina. Masalahnya memang tidak jauh dari konflik antara etnis keturunan Cina dengan penduduk lokal khususnya dalam masalah ekonomi. Dan perlakuan di tiap negara pun berbeda-beda.

Di beberapa negara, etnis Cina sangat dihormati dan justru memegang peranan penting yang diakui dalam bidang ekonomi. Singapura dan Mongolia adalah contoh yang paling jelas. Ada negara juga yang mengkastakan etnis Cina dalam golongan tertentu yang hanya punya ruang gerak terbatas dibandingkan dengan penduduk lokal. Malaysia dan Filipina adalah contohnya. Ada juga yang tidak terlalu mempermasalahkan mengenai etnis, termasuk etnis Cina, dan membiarkan masalah penguasaan ekonomi dan sosial kepada seleksi alam. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris adalah contohnya. Indonesia memang sulit untuk digolongkan ke manapun mengingat kita tidak menganut penggolongan etnis khusus untuk masalah etnis Cina seperti di Malaysia, tetapi dalam kenyataannya di lapangan benturan etnis Cina dan penduduk lokal selalu menjadi bom waktu yang siap menjadi masalah besar sewaktu-waktu.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk di dunia, memang tidak bisa dipungkiri kalau banyak orang keturunan Cina yang memilih merantau dan membaur dengan negara lain tempat mereka berada. Persebaran etnis Cina di berbagai negara ini mungkin bisa dianalogikan dengan persebaran pemain sepakbola keturunan Brazil di berbagai negara. Keterbatasan pemain asal Brazil untuk bermain dalam tim nasional mereka membuat banyak pemain yang asalnya adalah warga negara Brazil memilih pindah kewarga negaraan dan membela timnas sepakbola negara lain.

Sebenarnya masalah etnis Cina di negara lain atau Chinese overseas ini pun menjadi perhatian di negara-negara Cina induk seperti Cina, Taiwan, atau Hong Kong. Mereka sadar bahwa dalam kesehariannya banyak sekali konflik yang timbul antara penduduk etnis Cina dengan masyarakat lokal tempat mereka berada. Itulah sebabnya mereka selalu membuka diri bagi warga etnis Cina yang ingin kembali ke negara leluhurnya. Taiwan misalnya, memberi beasiswa dan jaminan khusus bagi etnis keturunan Cina dari negara lain yang ingin bekerja dan belajar di Taiwan.

Masalah etnis Cina ini pun sempat hangat dalam acara workshop ini. Salah seorang peserta yang kebetulan adalah orang Taiwan yang pernah bekerja sebagai pegawai di Konsulat Taiwan di Thailand, mengemukakan opini bahwa etnis Cina banyak dimusuhi karena mereka hanya mementingkan masalah ekonomi mereka pribadi dan tidak ambil peduli mengenai kondisi masyarakat lokal dan negara tempat mereka berada.

Hal ini pun kemudian menjadi bola panas saat dua orang peserta yang berasal dari Myanmar serta kawan saya dari Indonesia yang kebetulan warga keturunan menginterupsi pernyataan itu. Mereka membantah dengan keras dan mengatakan bahwa tidak sepatutnya kelakuan etnis Cina dimana-mana digeneralisir dengan buruk. Karena tidak sedikit juga etnis Cina yang kemudian ikut membantu negara tempat mereka berada dan memiliki rasa nasionalisme yang lebih besar kepada negara tempat mereka berada ketimbang negara Cina sendiri. Kawan dari Indonesia memberi contoh pada saat serah terima Hong Kong dari Inggris ke Cina tahun 1997. Saat itu pemerintah baru Hong Kong menyatakan membuka diri bagi siapapun etnis keturunan Cina yang memilih untuk kembali dan tinggal di Hong Kong. Tetapi khusus di Indonesia, hanya sedikit sekali etnis keturunan Cina yang memilih hal tersebut. Jauh lebih banyak yang lebih memilih menetap di Indonesia karena merasa sebagai warga negara Indonesia.

Banyak pula langkah pembauran yang dilakukan warga etnis Cina di Indonesia, seperti mengubah nama mereka menjadi nama Indonesia, menikah dengan orang pribumi, sampai memilih masuk Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia. Tidak sedikit pula etnis Cina yang ikut membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nama-nama seperti Auw Jong Peng Kon (P.K. Ojong), Ong Hok Ham, atau Oei Tju Tat adalah beberapa diantaranya. Bahkan tokoh pergerakan mahasiswa yang terkenal di Indonesia yakni Soe Hok Gie, adalah etnis Cina juga. Untunglah adu argument ini tidak sampai mengarah ke tindakan anarkis.

Cukup banyak sekali pengalaman yang bisa dipetik dari acara Workshop 2 hari ini bagi para peserta. Mulai dari melatih bahasa Mandarin mengingat workshop disajikan dalam bahasa Mandarin, mengenal banyak kawan dari berbagai negara, dan terutama menambah wawasan mengenai hubungan luar negeri dengan Cina. Bahkan seorang kawan dari Turki pun memberi kesan bahwa dia tidak berpikir bahwa begitu banyak hal yang menarik dalam mempelajari politik di Cina dan Asia Timur pada khususnya.

Mungkin yang perlu kita petik pelajaran nantinya adalah hubungan dengan etnis Cina yang selama ini selalu menjadi benturan sosiologis di Indonesia. Mungkin ada benarnya juga kata-kata dari kawan saya yang termasuk warga keturunan itu. Perjuangan etnis Cina untuk bias diakui sebagai bagian dari Indonesia memakan waktu yang panjang dengan usaha yang keras. Awalnya mereka harus menerima “makian” sebagai warga keturunan yang lebih memiliki kesan negatif, sampai akhirnya tahun baru Cina diakui sebagai libur nasional di Indonesia. Dalam masalah relijius, masjid Lao Tze di bilangan Jakarta Utara pun sudah menunjukkan sejarah pembauran warga keturunan yang tidak sedikit pula mendapatkan hidayah memeluk agama Islam.

Bicara etnis Cina memang hanya membicarakan sekelumit dari kemajemukan yang ada di Indonesia. Dan diakui atau tidak, sejak pertama kali Indonesia berdiri, kita sudah dihadapkan dengan fakta kondisi kemajemukan dalam masalah suku, etnis, agama, budaya, aliran, dan lain sebagainya. Sesuatu yang tidak akan pernah bisa dihilangkan dari Indonesia. Kita berhadapan dengan masalah itu dan kita masih selalu belajar dalam proses menerima kemajemukan yang ada.

Dan bicara mengenai etnis Cina pun, kita harus menerima fakta bahwa sejarah mereka di Indonesia pun memakan waktu yang panjang. Jauh sebelum ada nama-nama seperti Auw Jong Peng Kon atau Soe Hok Gie, sejarah sudah mencatat perjalanan laksamana Cheng Ho dari Tiongkok ke tanah Jawa, atau bagaimana kota Palembang didirikan dengan mengambil nama seorang Cina muslim bernama Pai Li Bang, atau bahwa sunan Gunung Jati pun pernah memperistri salah satu putri Kaisar Cina.

Sepertinya sejarah sudah mencatat bahwa etnis Cina sudah punya hubungan yang erat dengan bangsa ini sejak dari zaman purbakala.

馬富月

Ma Fu-Yue

Muhammad Rizki Ramadhani

Assalamu alaikum

Taipei, 25 Desember 2007

Pertama kali menulis blog disini, jadi saya mengucapkan selamat berjumpa di blog saya yang sederhana. Feel free to comment later.

- Rizki Ramadhani -