Tuesday 9 December 2008

Gema Seorang Gao

”Lelaki itu berjalan santai di suatu senja yang indah. Saat melewati sebuah toko yang menjual alat-alat pemancingan, matanya tertumbuk ke suatu benda yang menarik. Sebuah joran pancing fiber glass buatan barat yang cukup indah dan terlihat kuat. Kenangan masa lalu pun kemudian terlintas di benaknya. Sejurus kemudian dia berpikir untuk membeli benda itu, sambil menimbang-nimbang mana yang lebih baik antara sebuah senapan berburu ataukah joran pancing untuk menangkap ikan. Akhirnya dia memutuskan, dia membeli joran pancing itu sebagai kenang-kenangan untuk kakeknya”.


Itulah salah satu potongan dari kumpulan cerita pendek berjudul ”Buying A Fishing Rod for My Grandfather” yang dalam bahasa Mandarinnya berjudul
給我老爺買魚竿 (Gei3 Wo3 Lao3 Ye Mai3 Yu2 Gan1). Buku tersebut ditulis oleh Gao Xingjian penulis kelahiran Cina yang pada tahun 2000 lalu diganjar Nobel Sastra atas karya-karyanya yang unik dan eksotis.


Dalam karya-karyanya, Gao mencoba mengangkat sastra Cina dalam sisi yang berbeda, secara menyeluruh, holistik. Orang-orang yang tidak banyak mengetahui mengenai literatur Cina mungkin hanya mengenal sastra Cina sebatas kata-kata bijak bestari dan puisi-puisi kuno, semisal puisi-puisi dan tulisan Lao Tze dalam Kitab Dao De Jing yang menjadi buku ajaran Taoisme atau kata-kata bijak Kong Fu-tze sang pendiri confusianisme. Padahal sastra Cina jauh lebih dari itu. Bahkan dalam bentuknya yang klasik, sastra Cina sarat akan makna yang cukup dalam dan beraneka. Gao mengangkat itu dalam kisah-kisah Shan Hai Jing, Kisah-kisah dari Gunung dan Lautan yang merupakan kumpulan dongeng-dongeng Cina klasik.


Tapi sastra Cina tidaklah sebatas itu. Selayaknya sebuah keindahan hasil karya peradaban manusia, sastra teruslah berkembang dinamis. Dalam kasus Cina, sastra Cina pun berkembang mengikuti kesejarahan Cina sendiri. Dari zaman dinasti-dinasti kuno, beranjak ke transisi di zaman kolonialisme dimana Cina sering dilanda perang yang membuatnya dijuluki “The Sick Man of Asia”, sampai sekarang dimana negeri ini tumbuh menjadi sebuah negara modern dengan luas wilayah terbesar ketiga dunia, populasi penduduk terbesar di dunia, dan mampu menyelenggarakan pesta olahraga Olimpiade. Itulah Cina yang dinamis. Dan Gao pun mencoba menyatukan hal itu. Realisme sosial di Cina dia tuangkan juga dalam tiap karyanya.


Gao Xingjian (高行健/Gao1 Xing2 Jian4) lahir di tahun 1940 di Ganzhou, sebuah kota kecil di propinsi Jiangxi yang terletak di jantung Republik Rakyat Cina. Ayahnya adalah seorang kasir bank, dan ibunya pernah terlibat dalam gerakan anti Jepang saat pecah perang Cina-Jepang di tahun 1930-an.


Dari ibunya dia belajar tentang seni melukis dan kaligrafi Cina. Sampai saat ini pun Gao dikenal sebagai seorang pelukis disamping keahilannya dalam menulis. Dia sempat belajar sastra di Universitas Nanjing dan berkunjung ke Perancis untuk kemudian bekerja sebagai penerjemah karya-karya Cina ke bahasa Perancis. Karirnya di dunia sastra dimulai saat dia menjadi penulis naskah drama di teater rakyat Cina di Beijing. Naskah drama pertamanya, Signal Alarm (Sinyal alarm) dipentaskan di Beijing di tahun 1982. Di masa-masa ini pula sejarah mencatat bahwa Cina sedang berada pada masa-masa pergolakan. Pemerintahan komunis Deng Xiaoping yang melanjutkan kekuasaan Mao Zedong sudah tidak lagi mendapat tempat di hati kebanyakan masyarakat Cina, khususnya kaum mudanya.


Kegundahan ini pun dirasakan oleh Gao, namun dia mencoba menutupinya. Kuatnya kekuasaan komunis di Cina membuat hampir semua segi kehidupan diatur dengan ketat. Termasuk sastra. Persatuan penulis Cina yang berafiliasi kepada pemerintahan pun gerah dengan karya-karya Gao. Di tahun 1983, dia diasingkan dari persatuan penulis. Di tahun yang sama dia mendapat berita buruk yang lainnya, dia dinyatakan mengidap kanker paru-paru. Untuk menenangkan diri sekaligus mencari udara yang nyaman untuk kesehatannya, dia pergi ke pinggir sungai Yangtze yang indah, berkilo-kilo meter jauhnya dari bising ibukota Beijing. Disanalah dia melihat kesederhanaan penduduk desa dan majemuknya kehidupan. Pedagang sayur, biksu, orang-orang jompo yang sudah hidup lebih dari tiga perempat abad semua menyatu membentuk peradaban yang diisi oleh keaneka ragaman karakter manusia. Disanalah pula dia menulis novel terkenalnya, Pegunungan Jiwa (Soul Mountain / 靈山 / Ling2 Shan1), karya yang dianggap sebagai masterpiece dari sang begawan sastra Cina.


Kegundahan jiwanya kemudian memuncak di tahun 1989 saat timbul protes besar-besaran yang dipelopori oleh mahasiswa di alun-alun lapangan Tiananmen, Beijing, menuntut demokratisasi pemerintahan. Saat itulah dia menulis karya berjudul Pelarian (Fugitives), novel politik sebagai bentuk dukungan diamnya terhadap gerakan mahasiswa. Pemerintahan komunis pun berang luar biasa. Seluruh karyanya dilarang terbit di seantero Cina.


Gao pun menjalani takdir kejam yang harus ditempuh oleh semua penulis hebat di dunia. Dia diasingkan dan terpaksa pindah ke Paris. Nasib Gao sama halnya dengan penulis-penulis tenar di negara komunis, tempat dimana sebuah karya sastra menjadi alat perlawanan paling hebat, pedang kata-kata yang bisa langsung menusuk jantung para politisi busuk dan diktator. Sebagai akibatnya, mereka harus minggat. Gao harus pindah dari Cina, seperti halnya bertahun-tahun sebelumnya begawan sastra Rusia Alexander Solzhenitsyn juga diusir dari negerinya, bekas Uni Sovyet, dan dicabut kewarganegaraannya karena mengkritik pemerintahan komunis Sovyet.


Sejak itulah dia berpindah kewarganegaraan menjadi warga negara Perancis. Tapi rindunya terhadap kampung halaman tidaklah pudar. Di tahun 1998 dia menerbitkan novel lainnya, Injil Milik Seseorang (One Man’s Bible/一個人的聖經/ Yi1 Ge Ren2 De Sheng4 Jing1), kisah tentang seorang anak manusia yang berusaha mempertahankan keyakinannya ditengah pengalaman masa lalunya yang kelam.


Pantaslah kiranya dia dianugerahkan Nobel Sastra di tahun 2000. Walaupun beragam pro dan kontra muncul akan hal itu. Seorang penulis di Cina, tempat kelahiran Gao, mengkritik Gao sebagai penulis yang buruk dan menyedihkan. Walaupun kemudian kata-kata itu akhirnya dicabut. Biar bagaimanapun Gao adalah orang Cina pertama yang dianugerahi gelar tertinggi dunia di bidang sastra.


Karya-karya Gao sering dikritik sebagai karya yang skeptis. Persis seperti penulisnya yang selalu ingin menunjukkan bahwa dunia ini berjalan apa adanya, tidak perlu melawannya apalagi mengubahnya. Karya-karyanya sering menampilkan kisah tragis orang-orang yang berusaha melarikan diri dari masa lalunya. Namun disitulah letak magis karyanya, mencoba menunjukkan manusia ditengah berbagai dimensi, terutama dimensi kesedihan dan kegelapan yang selalu ada dalam riwayat hidup manusia. Seorang manusia pastilah mempunyai masa kelam, dan sesudahnya perjuangan untuk bertahan hidup dan meraih hal yang lebih baik untuk menutup kesalahannya dahulu. Karena itulah sebenar-benarnya manusia. Lewat karyanya, Gao ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa Cina tidaklah sekaku robot-robot revolusi yang bekerja tanpa kenal lelah dari pagi sampai malam. Cina adalah dinamika yang berkembang sejak zaman-zaman kekaisaran lampau sampai beranjak menjadi negeri modern saat ini.


Gao saat menerima Nobel (Copyright : Royal Academy of Sweden)


Salah satu novel terkenal Gao, "Buying a fishing rod for my grandfather"




M. Rizki Ramadhani (馬富月/Ma3 Fu4 Yue4)

Peminat dan pemerhati sastra Cina

Diambil dari berbagai sumber

No comments: